Monday, November 8, 2010

Poisonous Mollusk With A Single Spiral Shell Into Which The Whole Body Can Be Withdrawn - Preface

Pameran ini mengetengahkan judul yang tak biasa: panjang dan mungkin sulit untuk diingat. Tapi dalam Bahasa Indonesia, 'Poisonous Mollusk with a Single Spiral Shell into which the Whole Body can be Withdrawn' justru bermakna sederhana. Terjemahan harfiah judul pameran ini mungkin akan segera mengingatkan kita pada sebuah lagu yang belakangan ini menjadi sangat populer di dunia maya oleh dua orang penyanyi perempuan amatiran dari Bandung. Tapi, tunggu dulu. Jangan tergesa-gesa untuk menyimpulkan, karena bukan pokok-soal itu yang sesungguhnya tengah diungkap oleh pameran ini.

Baik Cinanti Astria Johansjah (Keni) maupun Endira Fitriasti Julianda (Endira) punya obsesi yang luar biasa pada penggambaran binatang. Tapi bukan cuma kesamaan itu yang pada akhirnya memersatukan mereka dalam ruang pamer ini. Sejak lama, keduanya punya ketertarikan yang sama mendalamnya pada penggunaan dan eksplorasi medium cat air. Bukan kebetulan pula, mereka pernah belajar di program studi yang sama di ITB. Keni dan Endira sama-sama tinggal dan bekerja di Bandung, dan bersahabat sejak mereka di bangku kuliah. Sebagai seniman, keduanya mulai berkarir pada masa yang kurang lebih sama. Penampilan mereka dalam pameran kali ini menjadi penanda baru dari eratnya hubungan personal sekaligus profesional di antara keduanya.

Meskipun diikat oleh idiom visual binatang dan kesamaan medium, keduanya punya beberapa perbedaan dalam hal motif dan intensi artistik. Telah lama Keni tertarik untuk menjelajahi visualisasi bahasa isyarat melalui gestur tubuh. Ia banyak menampilkan dirinya dalam selubung berbagai tubuh binatang untuk menyampaikan aforisma yang diadopsi dari ungkapan dalam sastra dan musik populer. Selubung binatang dalam karya-karya Keni dimaksudkan untuk menunjukkan berbagai aspek kebinatangan dalam manusia, dan sebaliknya. Keni tertarik pada bagaimana naluri kebinatangan yang sering muncul justru ketika manusia dituntut untuk mempertahankan diri. Dalam khasanah budaya tradisional, dikenal cerita-cerita supranatural tentang manusia yang mampu mengimitasi wujud dan perilaku binatang untuk melawan musuh. Narasi-narasi itu, bagi Keni, menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya bukanlah makhluk yang paling superior di muka bumi. Karya-karya Keni pada akhirnya menjadi narasi fantastik sekaligus ironis tentang keangkuhan manusia, sebagai spesies biologis yang justru menolak jika dipersamakan dengan binatang.

Endira, di pihak yang lain, telah lama menggarap citraan-citraan dengan garapan visual bernuansa gelap dan monokromatik, yang menyebabkan karya-karyanya punya nuansa enigmatik yang kuat. Dalam pameran kali ini, ia mencoba mengimajinasikan visi dan persepsi binatang untuk mempersoalkan domestikasi. Pada kanvas-kanvasnya ia menyusun berbagai pemandangan yang nampak 'normal', biasa: ruang tamu, kamar tidur, ruang kerja, kamar mandi hingga cellar. Keganjilan segera menyergap ketika kita lihat makhluk-makhluk yang menghuni ruang-ruang itu. Endira menggambarkan beragam binatang domestik yang tengah beraktifitas, seolah-olah menggantikan keberadaan manusia di dunia. Karya-karya ini memancing tafsir tentang perlawanan imajiner para binatang terhadap dominasi ras manusia.

Berangkat dari paparan visual tentang binatang, pameran ini pada akhirnya hendak mempersoalkan bagaimana pemahaman dan perlakuan kita terhadap binatang adalah warisan konstruksi sosial yang antroposentrik. Antroposentrisme memandang 'manusia' sebagai pusat dari semesta dan segala isinya. Eksplorasi dan eksploitasi besar-besaran alam semesta pada abad keduapuluh membuktikan bagaimana antroposentrisme yang mendorong modernisasi turut andil dalam melahirkan ketidakseimbangan alam: binatang dan tumbuhan tedomestikasi dan punah, sementara kepadatan populasi manusia di bumi terus menanjak tajam. Objektifikasi binatang juga tercermin dalam bahasa. Ketika bahasa selalu mewakili kenyataan-kenyataan subversif dan tersembunyi, maka melalui berbagai idiom bahasa kita bisa mengetahui bagaimana manusia memandang dan memahami binatang. Dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, misalnya, kita mengenal peribahasa yang menggunakan binatang sebagai metafor—misalnya: 'anjing', 'babi' atau 'keong racun'. Tapi pernahkah kita membayangkan betapa tersinggungnya perasaan binatang, ketika ras mereka diidentikkan dengan sesuatu yang rendah, hina atau kotor?

Karya-karya Keni dan Endira pada akhirnya menyiratkan narasi tentang hubungan harmonis antara manusia dan binatang. Tapi tentu saja narasi itu hanyalah fantasi. Karena sejak konsep tentang 'manusia' ditemukan, kehidupan para binatang di muka bumi tak pernah sama. Hari-hari ini, upaya untuk mengembalikan bentuk kehidupan binatang kepada kodratnya semula adalah mustahil. Tapi jika manusia menyadari bahwa binatang juga punya hak untuk diperlakukan dengan lebih layak, mungkin kehidupan semua makhluk di muka bumi ini akan menjadi lebih baik.



Agung Hujatnikajennong

Poisonous Mollusk With A Single Spiral Shell Into Which The Whole Body Can Be Withdrawn - Drawings





The Oblivion Series is basically nothing about pursue.
Those who thinks it is, also thinks that he's an alien to others.








Oblivion - Pool Room
watercolor on canvas
200 x 80 cm
2010



Oblivion - Living Room
watercolor on canvas
200 x 80 cm
2010



Oblivion - Library
watercolor on canvas
200 x 80 cm
2010



Oblivion - Restaurant
watercolor on canvas
200 x 80 cm
2010



Oblivion - Dentist Room
watercolor on canvas
200 x 80 cm
2010



Oblivion - Cellar
watercolor on canvas
200 x 80 cm
2010



Oblivion - Bedroom
watercolor on canvas
200 x 80 cm
2010



Oblivion - Bath Room
watercolor on canvas
200 x 80 cm
2010


Curated by Agung Hujatnikajennong,

exhibited at Edwin's Gallery.

Another record of this exhibition can be found here.



Wednesday, July 28, 2010

The X of The Pyramid Series


The X of The Pyramid #2
125 x 80 cm
Watercolor on Canvas


shown at Scarlet (B Invasion #2),
curated by Annisa Rahadi,
Galeri Canna, Jakarta
2010

Friday, June 25, 2010

a brief profile

taken from Bandung New Emergence v.3 catalogue,
written by Chabib D.H. and Agung Hujatnikajennong


Since two up to three years ago, Endira Fitriasti Julianda has beens known through her participation in several exhibitions in Bandung and Jakarta. Her paintings and drawings have shown distinctive style and technique. Endira works on various photographic images that were turned into black-and-white and grayscale nuances to bring the enigmatic and poetic impression. If the colors on photographic imageries often become visual elements that describe certain information, Endira’s works precisely have intention to hide it instead.

Many of Endira’s works raise issues about the modern-urban human life, through portrayal of daily life images. One of themes that she has worked on recently deals with the issue of human relationships with his / her pets. In the history of human civilization, animals have experienced domestication by human, exiled from their native habitat and environment. The existence of zoos and pets in the human domestic environment indicates such situation. With the help of technology and sciences, human even do breeding in order to engineer animal’s appearance in order to make them ‘perfect’ by ‘human standard’.
Examined more deeply, Endira’s works concept implies power relation in the anthropocentric civilizations. Not only towards animals, humans also created ‘domestication’ towards other human beings during the period of colonialism and slavery.

In her various discussions with R.E. Hartanto, Endira admitted that she got many important input. For the BNE v.3 this time, she decides to explore new media by trying to work with photography and video. Although photos and video are not entirely new technics for Endira, she chose the medium because they deem an urgent need to realize the idea. In her video and photo works Endira tries to play a role as a dog that wants to meet with other dog. At the same time, the work invites viewers to feel the experience of being a dog for some time. Endira feels that to be able to ‘interpret’ and ‘reworked’ on certain vision/sight of a dog, photos and video are the most appropriate medium. The images in the works somehow appear blurred, because, according to Endira, a dog’s sense of sight is not special like its sense of smell. Endira also wants to say some things are considered taboo by human, are common for dogs. (AHJ / CDH)

Saturday, June 5, 2010

W.H.O.O.O at 15x15x15


W.H.O.O.O.
Ballpoint on selfmade postcard. 48 x 120 cm.


"
How I remember history, and how I forget history.

"


shown at 15 x 15 x 15,
curated by Sally Texania,
Galeri Soemardja, Bandung
2010

Unsegmented Bruno

Bruno, Brother, you're just too much.
C-print at Kodak photo paper. 20 x 50 cm.

shown at Unsegmented,
Galeri Kita, Bandung
2010

Tuesday, May 4, 2010

The Canine Anonymous Series


How do you do? I'm Pip and I've been a beta at home.
C-print at Kodak photo paper. 48 x 120 cm.



Why, Aldo, you look like an alpha to me.
C-print at Kodak photo paper. 48 x 120 cm.



Pleased to meet you Buff. I wonder how did you do that.
C-print at Kodak photo paper. 48 x 120 cm.



Pardon me, Maja. I am looking forward to copulating with you.
C-print at Kodak photo paper. 48 x 120 cm.

"
I always want to see this world from different point of view, just like we always want it.
And as I realized, I already lost my track what we call basic instinct inside me. The obligation of living as a proper human being has made me forgotten how I can see myself, how I perceive every other thing I see around me.

As I recall, dogs are known as the men's best friend, and I experience it myself. Somehow I find it hard to believe that they are being animals yet they become so handy, playful, smart, and reliable, and even their instinct is highly subservient for us.
Such superior being inspires me a lot that I feel like living it.
"

curated by Agung Hujatnikajennong,
2010

Wednesday, March 31, 2010

Ligatura


Ligatura
An illustration for Sorcery upcoming catalogue.
Based on Monica Hapsari's short fiction, "The Tale of Everlasting Journey of Wonders".
2010

Sunday, March 7, 2010

The Establishment of Von Grafraths


The Establishment of Von Grafraths
200 x 145 cm
water soluble oil on canvas
2010

exhibited at umahseni, Jakarta